Selasa, 24 Juli 2012

Hal Penting dalam Menjalankan Puasa Ramadhan


Assalamu'alaykum Wb.Wb;

Syaikh Abdullah bin Jarillah menyebutkan beberapa hal yg seyogyanya diperhatikan oleh orang yg berpuasa.

1. Mengenal hukum-hukum puasa. Banyak kaum Muslimin yg memasuki bulan puasa ini tanpa bekal ilmu tentang puasa sama sekali. Celakanya, mereka juga tdk begitu merasa perlu utk belajar. Padahal Allah ta berfirman: “Bertanyalah kpd para ulama, kalau kamu sekalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)

2. Menyambut puasa dgn hura-hura, bukan dgn byk berdzikir, beristigfar & mensyukuri nikmat Allah. Klimaksnya, bulan yg penuh berkah ini tidaklah menggiring mereka utk semakin bertakwa; tapi sebaliknya, semakin terbuai seribu satu kemaksiatan.

3. Sebagian kaum Muslimin, memasuki bulan Ramadhan dgn gambaran lahir seperti orang-orang yg bertaubat. Mereka shalat, berpuasa & meninggalkan byk kemaksiatan yg 1biasa dilakukan. Namun seusai bulan puasa, mereka kembali menjadi pecinta kemaksiatan. Seolah- olah, mereka hanya mengenal Allah di bulan nan suci ini. Atau mungkin mereka hanya memandang ibadah di bulan ini sbg satu tradisi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yg beribadah hanya utk didengar orang, maka Allah pun akan memberi ganjaran dgn sekedar (ibadah itu) didengar orang. Barangsiapa yg beribadah utk sekedar dilihat orang, demikian juga Allah akan memberinya ganjaran.”

4. Sebagian di antara mereka menghindari diri dari berbagai pembatal puasa; seperti makan, minum, berjima’ & lain-lain. Tetapi mereka tdk berusaha menghindari hal-hal yg dpt membatalkan pahala puasa; seperti bebas melihat aurat wanita di jalan-jalan (bahkan terkadang menjadi kebiasaan sehabis shubuh & menjelang berbuka), atau di majalah-majalah, berghibah, mencaci-maki orang & lain sebagainya.

5. Suka berdusta. Ada sebagian kaum Muslimin yg menganggap ringan berkata dusta, termasuk di bulan suci Ramadhan, di kala berpuasa. Padahal Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yg tdk juga meninggalkan berkata-kata dusta dan

6. Masih juga melakukannya (di kala berpuasa), maka Allah tdk sedikitpun sudi menerima ibadah puasanya, meski ia meninggalkan makan & minum.”

7. Satu hal yg aneh, namun benar-benar sering terjadi; seseorang berpuasa, tapi tdk shalat. Atau terkadang ada yg rajin shalat, tapi selalu beralasan tdk kuat berpuasa. Padahal sungguh tdk ada manfaat orang itu berpuasa kalau dia tdk shalat. Karena shalat adl pilar dien/agama Islam.

8. Ada juga sebagian kaum elit di kalangam Muslimin yg sengaja bersafar terkadang keluar negeri agar mendapat keringanan utk tdk berpuasa. Padahal Allah Maha Mengetahui apa yg terbetik dalam hati hamba-Nya.

9. Ada juga sebagian kaum Muslimin yg beranggapan bahwa bulan Ramadhan ini cocok dijadikan waktu utk beristirahat, tidur-tiduran & bermalas-malasan di siang hari, lalu begadang di malam hari. Bahkan seringkali, begadang malam itu dibumbui dgn hal-hal yg dpt mengundang kemurkaan Allah. Dengan permainan, mengobrol kesana kemari, berghibah, bahkan -kadang terjadi- berjudi, wal ‘iyadzu billah.

10. Selain itu, ada juga kaum Muslimin yg menyambut bulan ini dgn dingin & tdk bergairah. Kalau sudah berlalu, ia akan kegirangan. Mereka beribadah & berpuasa, semata-mata mengikuti kebiasaan manusia di sekitarnya. Alangkah miripnya mereka dgn keadaan orang-orang munafik yg memang senang bermalas-malasan dalam ibadah. Allah as berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (berusaha) menipu Allah, tetapi Allah-lah yg akhirnya menipu mereka. Dan apabila mereka berdiri utk bershalat mereka berdiri dgn malas….” (An-Nisa: 142). Rasulullah juga bersabda, yg artinya: “Sesungguhnya shalat yg paling berat bagi orang-orang munafik adl shalat Isya & Shubuh.” (Hadis Riwayat: Al-Bukhari & Muslim).

11. Banyak di antara mereka yg begadang malam utk hal-hal yg tdk bermanfaat, sampai-sampai meninggalkan subuh berjama’ah. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak dibolehkah begadang itu melainkan bagi orang yg shalat (malam), atau musafir.”

12. Sebagian kaum Muslimin, ada yg berbuka puasa dgn mengkonsumsi sesuatu yg haram. Terkadang minuman keras, rokok (itu byk terjadi), serta makanan & minuman yg didapat & usaha yg haram. Selain itu, beliau juga menyebutkan beberapa hal lain yg layak diperhatikan. Dan juga masih byk lagi kejanggalan-kejanggalan yg dilakukan sebagian kaum Muslimin dalam melakukan ibadah puasa. Terkadang, bahkan merusak bingkai kerja dari puasa itu sendiri; yaitu menahan diri & makan & minum. Bentuknya? Dengan mengumbar nafsu makan & minum tatkala berbuka puasa. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan penafsiran yg bagus tentang hadits nabi : “Sesungguhnya syetan itu mengalir dalam tubuh manusia mengikuti aliran darah.” Beliau berkata: “Orang yg puasa dilarang makan & minum karena keduanya adl sebab tubuh itu menjadi kuat. Dan makanan & minum itulah yg dpt menghasilkan byk darah, tempat di mina syetan ikut berjalan mengaliri tubuh manusia. Sesungguhnya darah yg di telusupi syetan itu memang berasal & makanan & minuman, bukan & suntikan atau faktor keturunan.”

Untuk itu marilah kita :
• Setting Niat
• Upgrade Iman
• Download sabar
• Delete Dosa
• Approve Maaf
• Search Pahala

 
Sumber : STA FB
 
Wassalamu'alaykum Wr.Wb.



Rabu, 18 Juli 2012

Penentuan Awal Puasa dan Idul Fitri --> Part 2


Assalamu'alaykum Wr.Wb;

1 Hisab

Hisab secara harfiah perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari
menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).

Dalam Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.

Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.

Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.

2 Rukyat

Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal

Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.

Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.

Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan “cahaya langit” sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.

Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut.

3. Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah

Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).

Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.

Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia :

1) Rukyatul Hilal

Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.

Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:

Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)”.

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.

2) Wujudul Hilal

Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur’an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra’: 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.

3) Imkanur Rukyat MABIMS

Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:

Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika :

Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan kondisi.

Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.Hal ini terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.

Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis

Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.

4) Rukyat Global

Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.

4. Perbedaan Kriteria

Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.

Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994.Pada tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik. Dalam kalender resmi Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Tetapi sidang isbat memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Sementara itu, Muhammadiyah tetap pada pendirian semula awal Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011. Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.

Hanya segitu yg dpt di share..
Kurang lebihnya mohon maaf dan terimakasih.

Sumber : STA FB

Wassalamu'alaykum Wr.Wb.



Selasa, 17 Juli 2012

Penentuan Awal Puasa dan Idul Fitri --> Part 1


Assalamu'alaykum Wr.Wb;

Awal puasa ditentukan dengan tiga cara:
1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit pertama).
2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.
3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.

Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini:

1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika (penglihatan) kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)

2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa (sunnat) pada waktu itu. Dan janganlah kalian berbuka sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di-Shahih-kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir 17/171 dan lain-lain)

4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (mengaku melihat hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29)

Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109.

Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil (dapat dipercaya karena kelurusan perilakunya dan pengetahuannya), sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua orang atau satu orang, sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata: “Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)

Perbedaan Mathla’ (Tempat Muncul Hilal)

Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal (melihat bulan sabit pertama), bukan dengan hisab (perhitungan kalender). Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin (di seluruh kawasan dan negeri) bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu.

Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi: “Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadhl bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata: "Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku kemudian dia sebutkan tentang hilal : "Kapan kamu melihat Hilal?" Akupun menjawab: "Aku melihatnya pada malam Jum’at." Beliau bertanya lagi: "Engkau melihatnya pada malam Jum’at?" Aku menjawab: "Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah." Dia berkata: "Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal)." Aku bertanya: "Tidakkah cukup bagimu ru'yah dan puasa Muawiyyah?" Beliau menjawab: "Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di-Shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)

Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata: Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :

Pendapat Pertama:

Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.

Pendapat Kedua:

Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).

Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa

Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua: 1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka. 2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.

Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat :

Dengan perbedaan mathla’.
Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
Dengan jarak meng-qashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.

Dengan perbedaan iklim.
Pendapat As-Sarkhasi: “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
Pendapat Ibnul Majisyun: “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain...” Berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.

Imam Syaukani menambahkan: “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”

Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.

Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)

As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)

Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata: “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal...."

Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)

Shidiq Hasan Khan berkata: “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka (iedul fithri) karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).

to be continued..

Wassalamu'alaykum Wr.Wb.



Sabtu, 07 Juli 2012

Kiamat Internet 9 Juli 2012?


Sejumlah media mengabarkan kehebohan ‘mati’nya worldwideweb pada tanggal 9 Juli 2012 (2 hari lagi dari tulisan ini dibuat). Seperti apa? Bisakah dihindari?

Malware berupa virus DNSChanger dikabarkan pernah menyerang ratusan ribu komputer tahun lalu. Serangan ini menyebar dan berhasil mengeksekusi jutaan komputer. Beberapa pakar kemanan komputer telah memenangkan gugatan tentang akses pengendalian infrastruktur yang dikelola para hacker penyebar serangan ini, namun kemenangan mereka tidak difollow-up dengan mematikan infrastruktur menjelang kiamat internet 9 Juli 2012. Sekitar Maret 2012 FBI mengantungi izin dari pengadilan untuk membiarkan server membersihkan DNS mereka sendiri. Solusi ini bersifat sementara karena mengizinkan korban untuk membersihkan DNS mereka dan mengembalikan ke pengaturan normal DNS. Tapi hanya sampai 9 Juli 2012, komputer yang masih terinfeksi DNSChanger tetap akan menerima kiamat Internet.
Itulah gambaran singkat yang terjadi sebenarnya.

DNS (Domain Name Server) membantu manusia menerjemahkan deretan bilangan pada IP address ke dalam suatu alamat internet yang mudah dikenali manusia.
Contoh: kita dengan mudah mengetikkan www.google.com pada address bar daripada harus mengetik alamat IP http://74.125.224.72/ . Walaupun keduanya merujuk ke alamat yang sama, yakni halaman depan Google. Di sinilah fungsi DNS, mengalamatkan antara IP address dengan alamat web.

Sebuah program merugikan (malware) yang dibuat para hacker telah mengacaukan sistem pengalamatan ini. Sehingga apa yang kita ketik di internet akan berbeda dengan apa yang kita tuju. Bayangkan jika kita tidak memiliki akses yang kita inginkan di internet. Internet tetap ada, tapi tidak dapat diakses. Ibarat anda ingin pergi berangkat ke kampus, namun mata anda ditutup orang lain dan disesatkan. Kampus anda tetap ada, tapi anda tidak akan pernah sampai ke sana. Inilah yang disebut ‘kiamat internet’.

Pakar Internet Onno W. Purbo mengungkapkan virus DNSChanger hanya akan menyerang komputer (client) dengan sistem operasi Windows, bukan server atau Linux. Untuk mendeteksinya anda dapat mengunjungi situs http://www.dns-ok.us/. Jika status menandakan hijau, maka komputer aman.

Cara lain untuk mendeteksi apakah komputer anda cukup aman adalah menyalin DNS dari yang komputer anda gunakan.
Buka command prompt, tampilan layar hitam seperti DOS. Klik start, ketikkan cmd, lalu [ENTER]. Setelah muncul command prompt berupa layar hitam, ketikkan
ipconfig /allcompartments /all
lalu tekan [ENTER]. Sejumlah baris akan muncul. Cari bagian DNS server.
Salin barisan bilangan yang ada pada DNS Server tersebut, formatnya xxx.xxx.xx.xxx. Caranya klik kanan, pilih Mark, lalu pilih barisan angka-angka tadi, untuk menyalinnya cuku tekan [ENTER]. Tempelkan angka-angka DNS Server tadi ke https://forms.fbi.gov/check-to-see-if-your-computer-is-using-rogue-DNS. Jika muncul tulisan ”Your IP is not configured to use the rogue DNS servers.”, maka komputer anda dapat dinyatakan aman.

Cara paling sederhana adalah kunjungi www.google.com, Google sudah memiliki aplikasi buatan mereka yang dapat mendeteksi apakah komputer anda cukup aman dari serangan virus DNSChanger ini. Jika tampilan Google pada komputer anda biasa saja, berarti malam ini anda aman. Tapi jika terdapat peringatan, maka anda pulang malam ini … *kriuk #IndonesianIdol
Tetap update antivirus anda, pasang firewall, dan hindari mengklik link-link yang tidak jelas.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Sumber:



Rabu, 04 Juli 2012

Hukum Malam Nisyfu Sya'ban


Assalamu'alaykum Wr.Wb;

" klo dijelaskan dlm buku sunnah & bid'ah tahunannya syaikh shalih munnajid, nishfu sya'ban trmsk bid'ah (ada skitar 6 hal pmbhasan ttg nisfu sya'ban). smua hadits tentangnya adl dhaif & bhkan ada yg maudhu' (palsu). "

Perayaan Nisfu Sya’ban

Oleh : Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan agama ini bagi kita, dan telah menyempurnakan nikmat-Nya untuk kita. Shalawat serta salam semoga tercurah pada nabi dan r
asul kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)

Allah juga berfirman: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21)

Dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Aisyah rha., dari Rasulullah, beliau bersabda: “Barang siapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam urusan (agama) kami, yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalannya tertolak”

Dan dalam shahih Muslim dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah bersabda pada khutbah Jum’at: “Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi Muhammad n dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan adalah sesat”

Dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang semakna dalam masalah ini.

Dalil-dalil diatas menunjukkan dengan sangat gamblang bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi umat ini, dan Dia tidak mewafatkan nabi Muhammad melainkan setelah tersampainya agama ini secara keseluruhan dan telah menjelaskan segala yang Allah syari’atkan baik berupa perkataan maupun perbuatan kepada umat ini. Rasulullah telah menjelaskan bahwa setiap perkara baru yang diada-adakan baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan disandarkan pada Islam, maka perkara tersebut tertolak, walaupun disertai dengan niat yang baik. Para shahabat dan ulama sesudahnya pun mengetahui perkara ini. Mereka juga mengingkari bid’ah dan mengingatkan umat ini agar berhati-hati terhadap perkara tersebut, sebagaimana yang disebutkan oleh setiap penulis yang membahas keagungan sunnah dan pengingkaran terhadap bid’ah. Misalnya Ibn Waddhah, at-Thurthusy, Ibnu Syamah dan lainnya.

Diantara bid’ah yang kerap dilakukan di masyarakat adalah mengadakan perayaan malam Nisfu Sya’ban, serta mengkhususkan puasa pada hari tersebut. Sementara tidak ada satupun dalil dalam hal ini yang dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya. Hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan nisfu Sya’ban adalah hadits-hadits dhaif (lemah) yang tidak dapat dijadikan landasan dalam beramal. Begitu pula dalil-dalil tentang keutamaan shalat pada malam Nisfu Sya’ban adalah hadits-hadits palsu, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, yang insyaaLlah nanti akan dinukilkan beberapa perkataan mereka.

Pendapat ulama ahlu Syam (Syiria sekarang, -pent) yang juga disepakati jumhur ulama’, mengatakan bahwa melakukan perayaan Nisfu Sya’ban adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah dhaif (lemah), bahkan sebagiannya palsu. Diantaranya adalah al Hafidz ibnu Rajab dalam kitabnya Lathaiful Ma’arif. Hadits-hadits dhaif hanya boleh diamalkan dalam ibadah jika didukung dengan dalil shahih yang menguatkannya. Sementara tidak ada satupun dalil shahih tentang perayaan malam Nisfu Sya’ban, sehingga hadits-hadits lemah tersebut tidak bisa diamalkan.

Al Imam Abul Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v telah menjelaskan sebuah kaidah yang agung, yang disepakati oleh para ulama bahwa merupakan kewajiban untuk mengembalikan setiap apa yang diperselisihkan manusia kepada kitabullah (Al-Quran) dan sunnah rasul-Nya (Hadits). Hukum apa saja yang dijelaskan pada keduanya atau salah satunya adalah merupakan ketentuan yang wajib diikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya harus dibuang jauh-jauh, dan ibadah yang tidak ada penjelasannya dalam kitabullah ataupun sunnah Nabi-Nya termasuk perkara bid’ah yang tidak boleh diamalkan terlebih untuk didakwahkan dan diajarkan.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Annisa ayat 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Allah juga berfirman: “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS.Asy Syuro: 10).

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” (QS. Ali Imron: 31).

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An Nisa: 65).

Masih banyak ayat-ayat yang semakna dalam hal ini. Ayat-ayat tersebut merupakan nash yang menjelaskan wajibnya mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan kepada Al-Qur’an dan sunnah nabi-Nya, serta ridha pada ketentuan hukum yang ditetapkan di dalam keduanya. Yang hal itu merupakan konsekuensi makna iman dan sebaik-baik bagi hamba, baik di dunia baik pula di akhirat. Makna " أحسن تأويلاً " dalam ayat diatas yaitu sebaik-baik akibat.

Dalam permasalahan ini, Al Hafidz Ibn Rajab berkata dalam kitabnya Lathaiful Ma’arif -: “Perayaan malam Nisfu Sya’ban berasal dari ahlu Syam, seperti Khalid Ibnu Ma’dan, Makhul, Luqman Bin ‘Amir, dan lainnya. Mereka mengagungkan hari tersebut dan bersungguh-sungguh dalam beribadah pada hari tersebut. Dari merekalah orang-orang mengambil keutamaan dan pengagungan malam Nisfu Sya’ban".

Ada pula yang mengatakan bahwa hal itu bersumber dari kisah-kisah Israiliyat. Banyak ulama’ Hijaz (Arab Saudi sekarang -pent) yang mengingkarinya, diantaranya adalah Atha’ dan Ibnu Abi Mulaikah. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menukil dari para fuqaha’ ahlul Madinah, yang merupakan perkataan para sahabat imam Malik dan selainnya bahwa mereka berkata: “semua itu adalah perkara bid’ah, tidak ada perkataan imam Ahmad dalam masalah malam Nisfu Sya’ban,...” sampai pada perkataan beliau “tidak ada satu dalil pun dari Rasulullah ataupun para shahabatnya untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban”.

Ibnu Rajab menjelaskan bahwa Rasulullah dan para shahabatnya tidak menetapkan suatu ibadah apapun pada malam Nisfu Sya’ban.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan syari’at, yang tidak ada ketetapannya berdasarkan dalil syar’i, maka seorang muslim tidak boleh mengada-adakannya, baik hal itu dikerjakan sendiri ataupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan, berdasarkan keumuman hadits nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam: “barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak”, serta dalil-dalil lain yang menunjukkan pengingkaran terhadap bid’ah dan peringatan dari perbuatan tersebut.

Imam Abu Bakar al Thurthusy berkata di dalam kitabnya Al Hawadits Wal Bida’: “Ibnu Wadhaah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, bahwa dia berkata: Kami tidak mengetahui satupun dari syaikh (guru) kami, ataupun dari para fuqaha’ kami yang menaruh perhatian terhadap perayaan Nisfu Sya’ban dan mereka juga mengacuhkan hadits Makhul. Mereka juga tidak melihat adanya keutamaan pada malam nisfu Sya’ban dibanding malam yang lain.”

Pernah dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ziyad an Numairi berkata: “Sesungguhnya pahala pada malam nisfu Sya’ban adalah menyamai pahala pada malam Lailatul Qadar”, maka beliau berkata: “Seandainya aku mendengar perkataannya dan di tanganku ada tongkat, niscaya aku akan memukulnya. Ziyad itu tukang mendongeng”.

As-Syaukani , menulis dalam kitabnya Al Fawaidul Majmu’ah, bahwa hadits yang berbunyi: “Wahai Ali, barang siapa yang shalat pada malam Nisfu Sya’ban 100 rakaat, pada tiap rakaat membaca al Fatihah dan al Ikhlas 10 kali, niscaya Allah akan kabulkan setiap hajatnya...dst” adalah hadits palsu, didustakan atas nama Nabi. Para perawinya majhul (tidak dikenal, tidak diketahui ke-tsiqah-annya), hadits-hadits yang diriwayatkan dari jalan ke dua semuanya palsu, dan para perawinya majhul.

Dalam kitab Al-Mukhtashar, As-Syaukani menambahkan bahwa hadits tentang shalat pada malam Nisfu Sya’ban adalah batil, adapun hadits Ibnu Hibban dari hadits Ali z: “Jika datang malam Nisfu Sya’ban maka shalatlah pada malamnya dan berpuasalah pada siangnya” adalah hadits dhaif.

Beliau juga berkata dalam kitab Al-La’aali, bahwa hadits yang berbunyi:
Shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban yang dikerjakan dengan ikhlas sebanyak sepuluh kali...dst
Hadits di atas adalah palsu, dan keseluruhan perawinya majhul (tidak dikenal) dan lemah. Beliau juga berkata: “hadits shalat sebanyak dua belas rakaat yang dikerjakan dengan ikhlas sebanyak tiga puluh kali adalah hadits palsu, demikian juga hadits tentang shalat empat belas rakaat.

Ada sebagian fuqaha yang terpedaya dengan hadits-hadits ini. Seperti penulis kitab Ihya dan lainnya, juga sebagian kalangan mufassirin. Shalat malam nisfu Sya’ban ini memang diriwayatkan dengan banyak jalan. Tapi semuanya batil dan palsu.

Al-Hafidz al-Iraqy berkata: “hadits shalat malam nisfu Sya’ban adalah hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah.”

Dan Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’ juga berkata: “Shalat yang dikenal dengan nama shalat Raghaib, yaitu shalat dua belas rakaat yang dilakukan antara shalat Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat pada malam nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, adalah bid’ah lagi mungkar. Tidak boleh seseorang terkecoh dengan kedua shalat itu hanya karena disebutkan dalam kitab Quutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddiin, ataupun terhadap hadits-hadits yang disebutkan pada dua kitab tersebut, karena semuanya batil. Dan hendaknya janganlah mudah percaya kepada sebagian orang yang tidak paham lalu menyamarkan hukum keduanya. Kemudian mereka menulis makalah-makalah tentang disyariatkannya dua shalat tersebut. Karena hal itu adalah suatu kesalahan.”

Syaikhul Islam Imam Abu Muhammad Abdurrahman Bin Ismail Al Maqdisy menulis sebuah kitab yang sangat bagus yang membahas kebatilan kedua shalat tersebut dengan sangat baik. Perkataan para ahlul ilmi dalam permasalahan ini sangat banyak, yang jika kami nukil satu per satu perkataan mereka niscaya pembahasan ini akan menjadi panjang, maka semoga apa yang telah kami sebutkan sudah cukup bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran.

Dari ayat-ayat, hadits-hadits serta perkataan para ahlul ilmi yang telah disampaikan diatas, cukup jelaslah bagi para pencari kebenaran bahwa perayaan malam nisfu Sya’ban atau malam lainnya dengan shalat tertentu, dan mengkhususkan siangnya dengan puasa tertentu adalah bid’ah lagi mungkar menurut sebagian besar ulama. Ia tidak memiliki landasan dalam syari’at yang suci ini. Akan tetapi hal tersebut termasuk jenis ibadah baru yang diada-adakan sesudah masa para shahabat g.

Cukuplah bagi para pencari kebenaran dalam perkara ini untuk perpegang teguh pada firman Allah:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu” (QS. Al-Maidah: 3). Dan ayat-ayat semakna lainnya.
Juga sabda Rasulullah : “Barang siapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam urusan (agama) kami, yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalannya tertolak” Serta hadits-hadits lain yang semakna.

Dan dalam shahih Muslim, dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah bersabda: janganlah kalian mengkhususkan malam jum’at dari malam-malam yang lain dengan shalat, dan jangan pula kalian mengkhususkan siangnya untuk berpuasa, kecuali jika sebelum hari tersebut salah seorang diantara kalian telah berpuasa”

Seandainya mengkhususkan satu malam diantara malam-malam yang lain dengan ibadah itu boleh, niscaya mengkhususkan malam Jum’at itu lebih utama dari malam yang lain, karena hari tersebut adalah sebaik-baik hari, berdasarkan nash dari hadits-hadits shahih dari Rasulullah .

Tatkala Rasulullah memperingatkan agar tidak mengkhususkan malam Jum’at dari malam-malam yang lain dengan ibadah, maka hal itu menunjukkan bahwa malam-malam yang lain lebih tidak boleh lagi untuk dikhususkan dengan ibadah. Kecuali jika ada dalil shahih yang menunjukkan pengkhususannya.
Ketika pada malam lailatul qadar dan malam-malam bulan Ramadhan disyari’atkan untuk memperbanyak shalat dan bersungguh-sungguh untuk beribadah, Nabi menekankan dan menganjurkan umatnya untuk mengerjakannya, serta beliau sendiri mencontohkannya dengan ibadah yang beliau kerjakan. Ini sebagaimana termaktub dalam shahih Bukhari dan Muslim, bahwasanya beliau bersabda:
Barang siapa yang mengerjakan shalat malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang terdahulu.

Dan hadits: Barang siapa yang mengerjakan shalat pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Maka seandainya pada malam Nisfu Sya’ban atau malam Jum’at pertama dari bulan Rajab atau malam Isra’ Mi’raj disyari’atkan pengkhususannya dengan perayaan atau bentuk ibadah-ibadah yang lain, niscaya Rasulullah telah menyampaikannya kepada umatnya atau Beliau sendiri melaksanakannya. Lalu para shahabat akan menukilkan hal tersebut kepada umat ini dan tidak akan menyembunyikannya. Karena mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik pemberi nasehat setelah para nabi.

Dari perkataan para ulama’ tadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada ketetapan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab dan malam Nisfu Sya’ban. Sehingga dari situ diketahui bahwa perayaan pada dua waktu tersebut adalah perkara bid’ah yang diada-adakan dalam Islam, demikian juga mengkhususkan dua waktu tersebut dengan ibadah-ibadah adalah bid’ah yang mungkar.

Demikian halnya dengan malam ke-27 dari bulan Rajab yang diyakini sebagian orang sebagai malam Isra’ Mi’raj. Tidak boleh mengkhususkan waktu tersebut dengan ibadah tertentu sebagaimana tidak bolehnya melakukan perayaan pada waktu tersebut berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan diatas. Bagaimana mungkin perkara (melakukan perayaan pada malam-malam tersebut) dikenal sebagai ajaran Islam, sementara para ulama telah mengatakan bahwa perkara tersebut tidak dikenal dalam ajaran Islam?! Dan perkataan orang-orang bahwa malam Isra’ Mi’raj jatuh pada malam 27 Rajab adalah perkataan yang batil, tidak ada dasarnya dalam hadits-hadits yang shahih.

Benarlah orang yang mengatakan, “sebaik-baik perkara adalah (perkara) yang telah dilaksanakan orang-orang terdahulu yang berada diatas petunjuk, dan sejelek-jelek perkara dalam Islam adalah perkara bid’ah yang diada-adakan”

Kami memohon kepada Allah agar memberi taufiq kepada kami dan kepada seluruh kaum muslimin agar berpegang teguh pada sunnah dan berpijak kokoh diatasnya, waspada dari hal-hal yang menyelisihinya, sesungguhnya Allah adalah Maha Baik dan Maha Pemurah.

Dan shalawat semoga senantiasa tercurah kepada hamba-Nya dan rasul-Nya, nabi kami Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarnya dan para shahabatnya.

Wassalamu'alaykum Wr.Wb;